PATRAINDONESIA.COM-JAKARTA-Putusan praperadilan yang mengejutkan, Hakim tunggal memutuskan bahwa penetapan Pegi sebagai tersangka batal demi hukum.
Keputusan ini diambil bukan karena Pegi dinyatakan tidak bersalah atau ada rekayasa dalam kasusnya, tetapi karena proses penyidikannya dinilai cacat hukum.
“Polri tidak pernah memeriksa Pegi sebelum menetapkannya sebagai tersangka,” ujar Riri Purbasari Dewi, pengacara kawakan yang dikenal menangani banyak kasus artis dari berbagai genre musik.
Menurut Riri, putusan ini didasari oleh putusan Mahkamah Konstitusi No. 12 Tahun 2014 yang mengharuskan seseorang diperiksa terlebih dahulu sebelum ditetapkan sebagai tersangka.
Pembatalan status tersangka dan penghentian penyidikan terhadap Pegi disambut meriah oleh masyarakat.
Namun, Riri memperingatkan bahwa putusan ini bisa menjadi preseden penting dalam penegakan hukum di Indonesia, khususnya bagi kasus-kasus besar lainnya.
Riri menyoroti kasus Harun Masiku, buronan KPK yang juga belum pernah diperiksa sebelum ditetapkan sebagai tersangka.
“Jika Pegi bisa bebas karena tidak pernah diperiksa, maka Harun Masiku juga harus dibebaskan. KPK belum pernah memanggil atau memeriksanya sebelum menetapkannya sebagai tersangka,” jelas Riri.
Menurut Riri, meskipun KPK beralasan penetapan tersangka terhadap Harun Masiku adalah bagian dari operasi tangkap tangan, pada kenyataannya Harun tidak berada di lokasi saat OTT terjadi.
Penetapan tersangka terhadapnya didasarkan pada pendalaman KPK dari berbagai alat bukti dan keterangan tersangka lain yang ditangkap saat OTT.
Riri juga menyinggung kasus korupsi e-KTP, di mana salah satu tersangka yang masih buron adalah mantan Direktur Utama dari perusahaan yang terlibat dalam pengadaan e-KTP.
“KPK menetapkan dia sebagai tersangka tanpa pernah memeriksanya karena dia sudah tidak berdomisili di Indonesia. Ini berarti status tersangka dan penyidikannya juga harus dihentikan,” tambah Riri.
Riri menekankan bahwa masyarakat harus siap menerima konsekuensi dari putusan ini, yang bisa berarti banyak buronan harus dibebaskan.
“Kita harus bisa menerima jika ada banyak buronan yang status tersangkanya harus digugurkan karena mereka belum pernah diperiksa sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh Polri, KPK, atau Kejaksaan Agung,” tegasnya.
Sebagai solusi untuk menghindari konsekuensi tak terduga ini, Riri berharap Mahkamah Konstitusi dapat melibatkan Polri, Kejaksaan Agung, dan PERADI dalam setiap pembahasan permohonan masyarakat terkait pasal-pasal dalam KUHP dan KUHAP.
“Polri, Kejaksaan Agung, dan PERADI adalah pihak yang menjalankan KUHP dan KUHAP di lapangan,” pungkas Riri yang juga menjabat sebagai Ketua DPN PERADI, Perhimpunan Advokat Indonesia.