PATRAINDONESIA.COM-JAKARTA– Aliansi Pengemudi Ojek Online Bersatu (APOB) kembali menggelar pertemuan dengan International Labour Organization (ILO) untuk membahas isu terkait perlindungan dan jaminan sosial bagi pengemudi ojek online.
Pertemuan ini menyoroti pentingnya regulasi yang melindungi hak-hak pengemudi dalam sektor transportasi berbasis aplikasi yang selama ini bekerja tanpa perlindungan sosial.
Irfan Yunus, Ketua Umum Pejuang Aspal Nusantara dan anggota APOB, menegaskan bahwa sejak munculnya ojek online pada 2014, pengemudinya bekerja tanpa jaminan sosial apa pun, termasuk jaminan keselamatan dan kesehatan kerja.
“Dengan risiko kerja yang jauh lebih tinggi dibanding sektor lain, jaminan sosial bagi pengemudi ojek online adalah hal yang mutlak dan tidak bisa ditawar lagi,” ujar Irfan, Jumat, (06/09)
APOB kini tengah menjalin komunikasi intensif dengan Kementerian Tenaga Kerja dan ILO untuk merealisasikan tuntutan para pengemudi ojek online terkait jaminan sosial.
Bahar menyampaikan kepada Abdul Hakim, perwakilan ILO, bahwa pihaknya telah mengajukan draft rancangan peraturan menteri (RPM) tentang perlindungan tenaga kerja di sektor transportasi berbasis aplikasi kepada Kementerian Tenaga Kerja.
Bahar menekankan bahwa jika pemerintah tidak segera bertindak, isu ini bisa menjadi sorotan internasional dan berdampak buruk pada perekonomian nasional.
“Permasalahan pengemudi online sudah menjadi perhatian dunia, dan ketidakadilan ini bisa merusak citra ekonomi Indonesia,” jelas Bahar.
Sementara itu, Sukat Tandika, anggota APOB lainnya, menjelaskan bahwa dalam draft RPM tersebut, APOB juga mengusulkan penggunaan algoritma oleh perusahaan aplikasi harus mengacu pada standar kerja dan penghasilan layak.
Hal ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan ekosistem bisnis transportasi online agar tetap berkelanjutan dan bermanfaat bagi semua pihak.
Sukat juga menekankan pentingnya keterlibatan pengemudi dalam diskusi terkait tata kelola transportasi berbasis aplikasi.
“Perusahaan tidak bisa menetapkan aturan sepihak. Semua keputusan harus dirundingkan bersama antara perusahaan dan pengemudi,” tambahnya.
Allan SAS, anggota APOB lainnya, turut menyoroti perdebatan mengenai status pengemudi ojek online sebagai pekerja atau mitra.
Namun, ia menegaskan bahwa terlepas dari perdebatan tersebut, pengemudi ojek online tetap berhak atas perlindungan sosial yang layak sebagai warga negara.
Perwakilan ILO, Abdul Hakim, menyayangkan belum adanya regulasi yang jelas terkait jaminan sosial bagi pengemudi ojek online.
“Hal ini menciptakan kesan eksploitasi di dunia bisnis Indonesia. Sampai sekarang, pemerintah belum membuat aturan tegas, sehingga perusahaan merasa tidak melanggar hukum, meskipun secara etika dan moral, ini salah,” kata Abdul Hakim.
Di sisi lain, Kementerian Tenaga Kerja tengah menyusun regulasi perlindungan tenaga kerja luar hubungan kerja, khususnya untuk layanan transportasi berbasis aplikasi.
Regulasi ini direncanakan akan diundangkan pada akhir 2024. Dalam Focus Group Discussion (FGD) di Sentul beberapa waktu lalu, Kementerian menyebut beberapa aspek yang akan diatur dalam RPM tersebut, seperti hubungan hukum, hak dan kewajiban, waktu kerja, jaminan sosial, serta keselamatan dan kesehatan kerja.
Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah juga menegaskan bahwa proses penyusunan RPM tentang perlindungan tenaga kerja ojek online sedang berjalan dan diharapkan selesai tahun ini.
APOB berharap pertemuan dengan ILO ini menjadi titik awal perjuangan pengemudi ojek online untuk mendapatkan hak mereka, khususnya terkait jaminan sosial yang layak dan sesuai dengan risiko pekerjaan mereka sehari-hari.