PATRAINDONESIA.COM (Aceh) – Interseksionalitas dalam Isu Gender dan Keadilan Sosial di Aceh: Sebuah Pendekatan Holistik untuk Mewujudkan Keadilan
Isu gender dan keadilan sosial di Aceh menjadi topik yang selalu relevan dan penuh tantangan, mengingat perbedaan yang mendalam antara norma budaya, agama, dan hukum yang berlaku di wilayah tersebut. Baru-baru ini, sebuah acara yang mengangkat tema Interseksionalitas dalam Isu Gender dan Keadilan Sosial di Aceh dihadiri oleh dua pemateri utama, yaitu Dessy Setiawaty dari Yayasan Kesejahteraan Perempuan Indonesia (YKPI) dan Bayu Satria, pendiri Youth ID. Kedua pemateri ini memberikan pandangan mendalam tentang bagaimana diskriminasi gender di Aceh tidak bisa dipandang hanya sebagai masalah satu dimensi.
Mereka menekankan pentingnya melihat isu ini dari perspektif yang lebih holistik dengan memperhatikan hubungan antar berbagai identitas dan pengalaman yang saling beririsan.
Interseksionalitas: Pendekatan yang Melihat Ketidakadilan dari Berbagai Dimensi
Interseksionalitas, sebuah konsep yang pertama kali diperkenalkan oleh Kimberlé Crenshaw, menyatakan bahwa ketidakadilan yang dialami individu tidak dapat dipahami hanya dari satu aspek identitas, seperti gender. Sebaliknya, ketidakadilan sering kali merupakan hasil dari tumpang tindih berbagai dimensi sosial, seperti kelas sosial, ras, agama, orientasi seksual, dan bahkan usia. Di Aceh, dengan kekayaan sosial dan budaya yang khas, pendekatan interseksionalitas sangat relevan dalam menganalisis kesenjangan gender yang ada, karena sering kali ketidaksetaraan yang terjadi memiliki akar yang lebih dalam dan lebih kompleks.
Dessy Setiawaty: Menyoroti Ketidaksetaraan Gender di Aceh
Dessy Setiawaty dari Yayasan Kesejahteraan Perempuan Indonesia (YKPI) memaparkan berbagai tantangan yang dihadapi perempuan di Aceh, baik dalam bidang hukum, ekonomi, maupun sosial. Menurutnya, penerapan hukum syariat Islam di Aceh sering kali lebih membatasi hak-hak perempuan, sementara laki-laki cenderung mendapatkan perlakuan yang lebih menguntungkan dalam banyak hal. Salah satu contoh yang sering ditemui adalah penerapan hukuman cambuk terhadap perempuan yang dianggap melanggar norma, seperti dalam kasus zina, sementara laki-laki yang terlibat dalam kasus serupa sering kali mendapatkan hukuman yang lebih ringan.
Namun, Dessy juga menekankan bahwa ketidaksetaraan gender ini sering kali terkait erat dengan faktor-faktor lain, seperti tingkat pendidikan dan status ekonomi. Perempuan dari kalangan miskin atau yang berasal dari daerah pedalaman Aceh sering kali tidak memiliki akses yang memadai terhadap pendidikan atau kesempatan kerja yang setara. Hal ini semakin memperburuk ketidakadilan yang mereka alami, menciptakan lingkaran ketidaksetaraan yang sulit diatasi.
Bayu Satria: Peran Pemuda dalam Mendorong Perubahan Sosial
Bayu Satria, pendiri Youth ID, menyampaikan pandangannya mengenai peran penting pemuda dalam mendorong perubahan sosial, termasuk dalam memperjuangkan hak-hak perempuan di Aceh. Bayu menekankan bahwa kaum muda, terutama mereka yang berasal dari kelas menengah ke atas, memiliki kekuatan untuk mempengaruhi perubahan kebijakan dan meningkatkan kesadaran sosial tentang hak-hak perempuan. Namun, untuk menciptakan perubahan yang nyata, pemuda perlu melihat ketidakadilan dari perspektif yang lebih luas. Mereka perlu melibatkan isu-isu sosial lainnya, seperti ketimpangan ekonomi dan kesenjangan akses terhadap pendidikan.
Bayu juga menyarankan agar aktivis dan pemuda di Aceh memanfaatkan platform digital untuk memperluas jangkauan gerakan sosial mereka. Dengan menggunakan media sosial dan teknologi, gerakan-gerakan yang memperjuangkan kesetaraan gender dan keadilan sosial dapat menjadi lebih efektif dan mencapai lebih banyak orang. Selain itu, platform ini juga dapat digunakan untuk mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya pendekatan yang lebih inklusif, dengan mempertimbangkan berbagai dimensi sosial yang saling berhubungan. (Raja/Red/PI).
Komentar