oleh

Dr Ahmad Sofian SH MA, “Jika Tidak Taati Hukum Acara, KPK Abuse of Power”

PATRAINDONESIA.COM (Jakarta) — Komisi Pemberanasan Korupsi (KPK) saat ini sedang menjadi sorotan. Salah satu sebabnya, adalah adanya kecenderungan di lembaga anti rasuah tersebut untuk menjadi abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan dalam penanganan perkara.
Salah satu indikator dari penalahgunaan kekuasaan itu diantaranya KPK mengabaikan prosedur formal yang diatur oleh hukum acara. Misalnya, ketika menetapkan seseorang sebagai tersangka, KPK sering tanpa melalui prosedur-perosedur sesuai hukum acara.

Dr Ahmad Sofian SH MA, Pakar Hukum dan pengajar pada Universitas Bina Nusantara menanggapi fenomena yang kian meresahkan masyarakat tersebut. Dalam sebuah wawanacara kepada media (Minggu, 25/6/2023) Ahmad Sofian mengatakan, “Dalam mengungkap sebuah kasus, prosedur formal harus dilalui oleh KPK. Prosedur formal itu adalah mengacu pada undang-undang Tipikor dan KUHAP sebagai panduan hukum acara agar tidak cenderung abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan atau pelanggaran hak, harkat dan martabar seseorang yang diduga melakukan tindak pidana.”

Lebih lanjut Ahmad Sofian menjelaskan, walaupun seseorang diduga melakukan tindak pidana, tetapi harkat dan martabatnya tetap harus dihormati, prosedur formal harus dilalui. Dan miminal ada alat bukti yang memadai untuk mengungkap sebuah tindak pidana.
Tanpa itu, maka kesewenang-wenangan akan dilakukan oleh KPK ketika mengungkap sebuah perkara.

Sebagaimana dialami masyarakat, saat ini ada kekhawatiran bahwa ketika seseorang ditangkap atau bahkan baru diperiksa oleh KPK, seolah-olah sudah bersalah. Ada framing bahwa ketika dinyatakan sebagai tersangka, sudah pasti bersalah. Ketika masuk ke pengadilan, sudah pasti pokok perkara akan diputus bersalah. Saat ini kan ada adagium yang tidak objektif. Padahal ketika masuk ke persidangan, tetap harus ada pembuktian, misalnya ada jika ada keberatan aspek prosedural tidak mentaati aturan, bisa pula dibawa ke praperadilan dan sebagainya.

Saat ini, berlaku penilaian bahwa jika seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK misalnya, seolah sudah ada kepastian bahwa dia akan menjadi terdakwa dan akan diputus bersalah. Di sinilah menurut Ahmad Sofian, “Harusnya pengadilan objektif di dalam menilai tindakan atau langkah-langkah yang dilakukan KPK tersebut.”
Bahwa ketika seseorang sudah ditetrapkan sebagai tersangka, tidak harus outputnya adalah ia menjadi terdakwa , kemudian menjadi terpidana-bersalah. Nggaklah ya. Ada ketika seseorang menjadi tersangka, pengacaranya menguji dan ternyata menemukan fakta lain … Pengadilan hendaknya objektif dalam menilai itu.
Jadi jangan mentang-mentang sebagai KPK, yang menetapkan seseorang sebagai tersangka, maka langkah-langkah KPK itu sudah pasti benar dan pas. Belum tentu! Karena bisa jadi alat bukti yang digunakan KPK tidak memadai sebagai alat bukti. Secara substantif tidak memadai sebagai alat bukti. Sehingga, menurut saya , pengadilan tidak bisa menilai, bahwa sudah pasti langkah-langkah prosedur formalnya KPK sudah tepat.

Ahmad Sofian menggambarkan , “Kalau kejaksaan atau kepolisian, wah ini perlu dilihat lagi,” Jadi ada kemungkinan apa yang dilakukan KPK itu tidak tepat. Ada beberapa kasus ya, waluapun sedikit, penetapan seseorang sebagai tersangka itu dinyatakan tidak sah oleh pengadilan. Tetapi itu sedikit. Atau penanganan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana itu dinyatakan tidak sah oleh pengadilan. Tetapi itu sedikit sekali.
Menurut saya, pengadilan kadang tidak berani secara objektif menilai langkah hukum yang dilakukan oleh KPK, bahwa langkah tersebut sudah pasti benar, dan tidak perlu dikoreksi lagi di pengadilan. Apapun yang dilakukan KPK dinyatakan sudah pasti benar. Saya kira tidak. Karena ada aspek formal yang bisa jadi mereka terlewat dan tidak menggunakan bukti yang cukup di dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Artinya tak mesti seseorang yang ditetapkan KPK sebagai tersangka sudah pasti bersalah. Ketika ditetapkan sebagai tersangka, sudah pasti benar prosedur formalnya…Enggak absolut seperti itu !! Enggak.

Kadang pengadilan ini menganggab KPK itu sudah pasti benar. Itu nggak benar juga pandangan serperti itu. Pengadilan mestinya berpandangan sama antara penetapan sebagai tersangka oleh KPK ataupun oleh lembaga penegak hukum yang lain.
Menurut saya, ada potensi KPK juga abuse of power. Ada juga kemungkinan KPK mendapat tekanan politis dan untuk kepentingan politik kelompok tertentu dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka. Atau, ada langkah-langkah KPK yang sebenarnya titipan. Sehingga KPK serius menangani perkara yang titipan tersebut. Atau tebang pilih di mana KPK perlu menaikkan rating dia …

Jadi sebenarnya ada aspek-aspek politis atau kepentingan-kepentingan tertentu ketika KPK menyidik sebuah tindak pidana korupsi.
Sebagaimana diberitakan, kecenderungan perilaku KPK seperti ini terlihat dan terjadi pada kasus penetapan tersangka suap Hakim Agung di Mahkamah Agung oleh Dadan Tri Yudianto, mantan Komisaris Wika Beton. Ia ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK tanpa melalui prosedur sebagaimana diatur oleh hukum acara. Karena itu, Dadan melalui kuasa hukumnya pekan ini mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. (*/Red/PI)

Loading