oleh

Aliansi Penegakan Hukum Berkeadilan (APHN) Berharap KPK Tak Lakukan Maladministrasi dalam Tangani Kasus Dadan

PATRAINDONESIA.COM (Jakarta) – Sidang praperadilan yang diajukan oleh tersangka suap Hakim Agung di Mahkamah Agung RI, yaitu Dadan Tri Yudianto memasuki babak akhir.

Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Ahmad Suhel sudah selesai mendengarkan penjelasan pihak-pihak yang berperkara. Yaitu pihak Dadan sebagai pemohon dan pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai termohon. Kedua belah pihak juga sudah mengajukan saksi ahli masing-masing.

Jumat (23/6) kemarin Hakim Ahmad Suhel sudah menyatakan, bahwa semua prosedur dan tahapan sidang praperadilan sudah lengkap dan tuntas. Sehingga, Senin (26/6) esok adalah pembacaan putusan diterima atau ditolak permohonan Dadan yang diwakili para penasehat hukumnya itu.

Di luar perkara teknis persidangan, mengemuka hal-hal substansial yang mencerminkan adanya maladmisnistrasi yang justru berpotensi menimbulkan pelanggaran dan persoalan hukum.

Atas adanya dugaan maladministrasi dan mis-prosedur itulah maka entitas yang mengatasnamakan Aliansi Aktivis Pro-Penegakan Hukum Berkeadilan (APHN) Minggu petang (25/6) ini tadi melayangkan pernyataan sikap kepada media.

“Seiring dengan pengembangan perkara yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam perkara suap Hakim Agung di Mahkamah Agung Republik Indonesia, hingga saat ini banyak pihak yang jadi ‘korban’ dalam arti terjerat ke dalam pusaran perkara dimaksud, yang hanya didasarkan atas asumsi/opini, bukan atas dasar fakta dan bukti,” tulis M. Arifin sebagai penanggungjawab sekaligus Koordinator APHN.

Lebih lanjut Arifin menjelaskan, hingga saat ini terdapat 2 (dua) nama, yang secara pemberitaan/opini publik menjadi buah bibir di masyarakat, yakni Hasbi Hasan (HH), Sekretaris Mahkamah Agung Republik Indonesia, dan dari pihak swasta, Dadan Tri Yudianto. Keduanya sama – sama diduga terkait dengan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung. Hingga saat ini masih mengajukan upaya pra-peradilan atas penetapan tersangka yang dialami keduanya.

Kejanggalan

Dalam permohonan pra-peradilan Dadan Tri Yudianto, telah selesai dijalani dan hanya tinggal menunggu putusan/vonis dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam fakta persidangan dimaksud, menurut Aliansi ini, banyak sekali terdapat kejanggalan sehubungan dengan proses penetapan tersangka terhadap Dadan Tri Yudianto.
Beberapa ahli hukum yang diajukan pada proses pembuktian, menerangkan secara lugas bagaimana maladministrasi serta missprosedural yang dilakukan oleh KPK dalam melakukan management penanganan perkara guna menetapkan status tersangka terhadap seorang warga negara.

Tentu, terdapat dinamika (pro dan kontra) dalam menyikapi persoalan ini, begitupun untuk menyatakan kebenaran ataupun kesalahan dari seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Bagaimanapun hal demikian, akan sangat terkait erat dengan proses pembuktian pada persidangan suatu perkara.

“Namun, hal yang tidak kalah penting ialah bagaimana akuntabilitas dan management perkara yang dilakukan oleh KPK yang seharusnya tidak boleh dilakukan atas dasar ‘suka suka’, arogan/sewenang-wenang (abuse of power). Namun sebaliknya, harus dilaksanakan dengan prinsip kehatian – hatian, kebijaksanaan serta kepastian hukum, guna menjamin hak – hak dari seorang warga negara di dalam negara hukum (rechtsstaat).”

Mengapa demikian? Sebab, bagaimanapun proses penegakkan hukum yang didahului atas praktik yang sewenang – wenang (abuse of power), pastinya akan menghasilkan (output) penegakan hukum yang jauh dari semangat hukum yang berkeadilan.

Melanggar Hukum Acara

Tentunya, pemberantasan korupsi harus didukung dengan semua kekuatan element bangsa. Tidak dilihat siapa lembaga yang melakukannya, apakah KPK ataupun lembaga penegak hukum lainnnya. Akan tetapi, proses dan prosedur pelaksanaan pengungkapan tindak pidana korupsi tersebut (cara-nya) harus dijalankan dengan rule atau aturan main yang benar, tidak dapat dilakukan karena sentimen ataupun subjektivitas (personal/kelembagaan), serta harus didasarkan atas praktik norma dalam hukum acara, atau yang dikenal KUHAP (Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana).

Oleh karenanya, mengedepankan proses dan prosedur yang akuntabel oleh KPK harus didorong dalam upaya menjamin kepastian hukum serta perlindungan hak asasi dari seseorang warga negara (HAM). Bukan berdasarkan opini ataupun asumsi.

Jikalau ada proses dan prosedur yang dilewati (by pass) dan hal demikian memang pada faktanya melanggar hukum acara, maka “mau tidak mau”, “suka atau tidak suka”, proses penetapan terhadap seorang tersangka haruslah dinyatakan batal/tidak sah.
Pada prinsipnya, lembaga peradilan harus lebih arif dan bijaksana untuk melihat fakta yang sebenarnya ada dan terjadi.

Hal itu penting guna menghasilkan putusan/vonis yang adil dan didasarkan atas fakta hukum yang tidak lain dari sebenarnya. Jangan didasarkan atas unsur subyektif seperti opini, desakan/intervensi ataupun unsur non-hukum lainnya.

Dalam perkembangannya terdapat satu hal yang patut kita sayangkan dari produk vonis/putusan dalam perkara korupsi yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan, khususnya yang bersumber dari lembaga KPK. Dimana muncul persepsi di kalangan para penggiat/praktisi hukum, bahwa terhadap fakta yang kebenarannya tidak terbantahkan sekaligus terungkap dalam persidangan, seringkali diabaikan dan/atau tidak dipertimbangkan.

Hal ini tentunya bukan karena lembaga peradilan yang tidak berjalan di atas prinsip objektivitas, independensi ataupun imparsialitas, melainkan dikarenakan adanya suasana psikologis kebatinan hari ini, yang dikenal dengan adagium ‘jikalau berhadapan dengan KPK, maka seorang tersangka/terdakwa sudah pasti salah dan harus dihukum bersalah, tanpa terkecuali’.

Adagium ini tentu sangatlah menyesatkan dalam praktik peradilan. Padahal semangat objektivitas, independensi dan imparsialitas lembaga peradilan harus dikedepankan.

Tidak melihat siapa yang duduk sebagai tersangka/terdakwa, serta lembaga hukum mana yang melakukan proses hukum kepada seorang tersangka/terdakwa. Idealnya, jikalau benar maka harus dikatakan benar, dan jikalau salah pada faktanya, maka harus tetap dinyatakan salah, tidak melihat apakah KPK atau lembaga penegak hukum lain yang ada di dalamnya.

Oleh karenanya, dalam konteks pengembangan perkara oleh KPK terkait suap pengurusan perkara di MA, besar harapan kita semua agar lembaga peradilan dapat tetap menjaga objektivitas, independensi dan imparsialitas dari lembaga peradilan sesuai dengan fungsi lembaga peradilan itu sendiri. Hal itu guna menjamin hukum yang berkeadilan pada setiap orang yang telah disematkan status tersangka/terdakwa.

“Masyarakat/publik tentu harus mendukung atmospehere yang dimaksud, agar marwah lembaga peradilan dapat terjaga, dan di dalam melakukan proses peradilan benar – benar didasarkan atas dasar fakta yang sebenarnya. Bukan atas dasar asumsi/opini, atau intervensi/ tekanaan publik lainnya, yang memang sengaja didorong/diarahkan untuk membentuk opini publik guna mempengaruhi putusan/vonis lembaga peradilan,” pungkas koordinator Aliansi, M Arifin. (*/Red/MP)

Loading