PATRAINDONESIA.COM (Jakarta) – Program Jalan Berbayar Elektronik (elektronic road pricing/ERP), rencana kenaikan tarif KRL Commuter Line dan pengoperasian LRT Jabodebek dapat secara simultan dilakukan. Karena saling mendukung dan mendorong penggunaan transportasi umum secara lebih masif. Kerja bareng pemerintah pusat dan pemda dalam upaya meningkatkan porsi penggunaan transportasi umum_
Sistem Jalan Berbayar Elektronik (JBE) merupakan suatu sistem yang dikembangkan untuk pembatasan kendaraan pribadi yang merupakan turunan dari manajemen permintaan perjalanan ( _transport demand management_/TDM). JBE atau dikenal sebagai *_congestion charging_* adalah suatu metode pengendalian lalu lintas, yang bertujuan untuk mengurangi permintaan penggunaan jalan sampai kepada suatu titik dimana permintaan penggunaan jalan tidak lagi melampui kapasitas jalan.
Manajemen permintaan perjalanan dalam mengelola transportasi perkotaan ada kebijakan *_push_ and pull strategy_*. _Push strategy_ adalah kebijakan disinsentif bagi pengguna kendaraan pribadi agar beralih ke angkutan umum. Sedangkan _pull strategy_ dengan menyediakan layanan angkutan umum terintegrasi, kemudahan bagi penggunaan angkutan umum.
Rencana Penerapan Jalan Berbayar Elektronik sudah diwacanakan sejak Gubernur Sutiyoso dengan terbitnya *Peraturan Gubernur Nomor 103 Tahun 2007 tentang Pola Transportasi Makro.*
Manfaat Jalan Berbayar Eelektronik (Dishub. DKI Jakarta, 2021) dari sektor lalu lintas adalah mengurangi kemacetan lalu lintas, mempersingkat waktu tempuh, meningkatkan keselamatan lalu lintas dan merubah perilaku masyarakat dalam berlalu lintas. Sisi hukum adalah penegakan hukum secara elektronik, memangkas birokrasi peradilan hukum terkait pelanggaran lalu lintas, dan meningkatkan ketertiban masyarakat. Sisi lingkungan untuk mengurangi kebisingan yang dihasilkan kendaraan, dan menurunkan tingkat polusi udara yang berasal dari asap kendaraan bermotor. Dan manfaat dari sisi transportasi dapat meningkatkan pelayanan angkutan umum massal, mendorong peralihan kendaraan pribadi ke angkutan umum massal, mewujudkan tarif angkutan umum massal lebih terjangkau, dan meningkatkan kinerja lalu lintas.
Menurut Muhammad Akbar, Kepala Dinas Perhubungan era Gubernur Joko Widodo, perbedaan yang menyolok pada ERP adalah adanya *dampak “uang yang terkumpul”* jumlahnya sangat sangat besar, itulah yang membedakannya dengan pembatasan lalu lintas lainnya seperti 3 in 1, ganjil genap. Namun itu sekaligus yang sangat mempersulit dalam sosialisasi dan meyakinkan masyarakat, bahwa uang yang terkumpul itu adalah *dampak dari aturan bukan tujuan*, bukan target untuk mendapatkan pendapatan asli daerah (PAD).
ERP adalah kebijakan yang sangat tidak populer, mungkin hanya yang peduli transportasi dan lingkungan saja yang setuju selebihnya akan menolak, sehingga hanya Gubernur yang tidak peduli pada popularitas saja yang berani melaksanakan nya, atau kalau nanti ada undang-undang yang mewajibkan Gubernur untuk melaksanakan itu.
Tidak banyak kota yang menerapkan ERP, karena sulitnya mendapatkan dukungan politisi dan masyarakat, di Stockholm (Swedia) untuk menerapkan JBE, mereka melakukan referendum untuk mendapatkan yes dari masyarakat. Singapura bisa menerapkan JBE karena pemerintahnya sangat _strong_ dan agak otoriter
Dengan ERP, terdapat pilihan pengemudi untuk membayar dan menikmati perjalanan, merubah waktu perjalanan untuk membayar lebih murah, merubah rute, merubah jenis alat angkut, merubah tujuan perjalanan dan membatalkan perjalanan (Elly Sinaga, 2021).
Daniel & Bekka (2000) dalam tulisannya _The Environmental Impact of Highway Congestion Pricing, Road Pricing_ adalah pengenaan biaya secara langsung terhadap pengguna jalan karena melewati ruas jalan tertentu. Ada _Complete Road Pricing_ dikenakan pada seluruh jalan besar ( _highway_) pada suatu daerah atau regional tertentu. Ada juga _Partial Road Pricing_, yaitu jalan berbayar yang hanya dikenakan jika kendaraan melewati ruas jalan tertentu
Pungutan ERP bukan Pajak tetapi Retribusi. Pajak adalah pungutan wajib yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan oleh negara, namun setelah melakukan pembayaran atas kewajiban pajak nya, Pembayar pajak tidak mendapatkan balas jasa atau kontra prestasi secara langsung. Pajak-pajak seperti pajak kendaraan bermotor, PPH, PPN dikumpulkan terlebih dahulu untuk kemudian digunakan membiayai berbagai macam keperluan publik, seperti jalan, sekolah, rumah sakit, tempat ibadah, ruang publik.
Retribusi adalah pungutan yang dikenakan kepada masyarakat yang menggunakan fasilitas yang disediakan oleh negara, berbeda dengan pajak maka Pembayar Retribusi mendapatkan kontra prestasi langsung dari apa yang dibayarnya. Misalnya, membayar retribusi parkir maka orang tersebut berhak memarkir kendaraannya pada ruang parkir yang tersedia.
Apa kontra prestasi untuk Retribusi ERP? Dapat menikmati jalanan yang lebih lancar, atau dapat izin menggunakan jalan karena bagi yang tidak membayar ERP tidak boleh melintas di jalan tersebut.
Kalau menurut teori ekonomi yang menjadi dasarnya maka ERP masuk kategori charging/denda karena menyebabkan negative externalities pada jalan-jalan ketika kondisi macet. Sementara dasar hukum pungutan kepada masyarakat yang tersedia adalah pajak dan retribusi. Untuk pungutan ERP yang paling mendekati cocok adalah retribusi.
*”Perbaiki dulu angkutan umumnya sebelum berpikir soal ERP”,* ini sanggahan orang yang menolak ERP Jakarta. Sebaik apapun angkutan umumnya, sebutlah misalnya MRT sudah terbangun di seluruh sudut Jakarta, tetap saja tidak akan bisa mengalahkan nyamannya menggunakan mobil. Karena menggunakan mobil ada fleksibilitas, privacy, gengsi, status sosial, door to door, dan lain-lain. Dengan ERP masyarakat dipaksa rasional dalam memilih moda angkutan umum.
Angkutan umum di Jakarta sudah cukup baik. Pengguna kendaran pribadi harus dipaksa keluar dari mobil dan mau naik angkutan umum.
Mr. G Menon (orang yang membidani kelahiran _road pricing_ di Singapura) pada tahun 2010 pernah bilang bahwa kondisi angkutan umum di Jakarta (waktu itu masih 8 koridor _busway_) jauh lebih baik dibandingkan Singapura, ketika memulai menerapkan _road pricing_ di tahun 1975.
*Benchmarking di beberapa negara*
*Oslo* (Norwegia), jenis pemungutan _revenue generation_ dengan 27 titik pembayaran. Tarif yang dikenakan antara 5,00 USD – 18,00 USD dan beroperasi selama 24 jam untuk 7 hari dalam seminggu (setiap hari). Pemasukan bruto per tahun 400 juta USD dan biaya operasional 45 juta USD (11 persen). Terjadi penurunan lalu lintas ( _peak/off peak_) sebesar 10 persen.
*Stockholm* (Swedia), ERP sebagai pajak yang dikenakan pada kendaraan yang memasuki Stokholm. Kebijakan ini dinamai *Stockholm Congestion Tax* (SCT) dan berlaku efektif 1 Agustus 2007 setelah 7 bulan melalui uji coba. Jenis pemungutan _congestion charging_ dengan 18 titik pembayaran. Tarif yang dikenakan antara 1,40 USD – 2,85 USD dan beroperasi mulai jam 06.30 hingga 18.29 dari hari Senin hingga Jumat, kecuali Bulan Juli. Pemasukan bruto per tahun 125 juta USD dan biaya operasional 23 juta USD (18 persen). Terjadi penurunan lalu lintas pada _peak_ 25 persen dan kondisi _off peak_ sebesar 20 persen.
*London* (Inggris), digagas tahun 1964 oleh Ahli Ekonomi Robert Smith dengan konsep _road charging_ dan dimulai 17 Februari 2003 oleh Walikota London Kenneth Robert Livingstone (2000-2008). Jenis pemungutan _congestion charging_ di semua kawasan atau area. Tarif yang dikenakan antara 13,60 USD – 18,20 USD dan beroperasi mulai jam 06.30 hingga 18.00. Pemasukan bruto per tahun 450 juta USD dan biaya operasional 300 juta USD (67 persen). Terjadi penurunan lalu lintas pada _peak_ dan _off peak_ sebesar 20 persen.
*Singapura* adalah negara pertama yang mengaplikasikan ERP tahun 1998, awalnya disebut _urban road user charging_. Sebelum ERP, Singapura menggunakan _Area-Licensing Scheme_ (ALS). Tahun 1998, ALS diganti dengan _Electronic Road Pricing_ (ERP). Jenis pemungutan congestion charging di 42 titik pembayaran. Tarif yang dikenakan antara 0,40 USD – 6,20 USD, beroperasi mulai jam 07.00 hingga 21.30 dan tarif bisa berubah sesuai dengan jam. Pemasukan bruto per tahun 65 juta USD dan biaya operasional 12,25 juta USD (19 persen). Terjadi penurunan lalu lintas pada _peak_ dan _off peak_ sebesar 25 persen.
*Strategi pengendalian kemacetan*
Untuk mengatasi kemacetan di Jakarta, diperlukan kemauan besar untuk melaksanakan strategi guna membatasi penggunaan kendaraan pribadi. Salah satunya dengan penerapan kebijakan jalan berbayar elektronik.
Kalau kebijakan ganjil genap dan 3 in 1, Pemprov. DKI Jakarta lebih banyak mengeluarkan anggaran untuk pengawasan, penjagaan dalam penegakan aturan ganjil genap. Untuk penerapan ERP, Pemprov. DKI Jakarta akan mendapatkan pemasukan yang bisa dipakai untuk mendanai subsidi angkutan umum.
Nantinya, dalam rangka penerapan, Dishub DKI Jakarta bisa melakukan uji coba di satu ruas jalan terlebih dahulu. Selanjutnya diterapkan di ruas-ruas jalan yang sudah ditetapkan sebagai ruas ERP.
Untuk tarif, sebaiknya DKI Jakarta juga mematangkan kisaran tarif dan perhitungan tarif. Di sisi lain, ia juga mengingatkan Dishub DKI Jakarta untuk mengendalikan kemacetan lebih efektif. Selain menerapkan ERP, Dishub DKI Jakarta juga bisa menerapkan strategi penerapan tarif parkir yang progresif di pusat kota, serta pajak kendaraan progresif.
Yang masih menjadi masalah atau kendala adalah bagi warga Bodetabek yang bekerja di Jakarta yang belum memiliki jaringan angkutan umum dari kawasan perumahannya dan harus bekerja di Jakarta. Sementara layanan angkutan umum menuju Jakarta dari kawasan Bodetabek masih minim. Lain halnya di Kota Jakarta, cakupan layanan angkutan umum sudah dapat meng _cover_ seluruh kawasan permukiman yang ada
Sinergi pemerintah pusat dan pemeritah daerah dapat dilakukan untuk mempercepat penerapan Jalan Berbayar Elektronik ini. Efisiensi _Public Service Obligation_ (PSO) KRL Jabodetabek dengan beberapa skenario yang dilakukan Direktorat Jenderal Perkeretaapian diperoleh sekitar 208 miliar – 475 miliar. Anggaran hasil efisiensi PSO ini dapat digunakan untuk membenahi transportasi umum di Bodetabek, sehingga warga Bodetabek yang bekerja di Jakarta tidak merasa dizolimi. Hal ini dilakukan dalam upaya untuk terus mendorong migrasi _private_ ke _public transport._
Seperti diketahui layanan transportasi umum di Bodetabek masih sangat buruk. Hampir 99 persen lebih perumahan di Bodetabek tidak terlayani transportasi umum. Sedangkan Kota Jakarta layanan transportasi umum sudah meng _cover_ 92 persen wilayahnya. Hingga jalan-jalan kecil di perkampungan Kota Jakarta sudah ada layanan angkot Jaklingko.
Sediakan dulu angkutan umum di Bodetabek seperti Trans Pakuan di Bogor atau Tayo di Tangerang (untuk menyelesaikan _first mile, last mile_ dan konektivitas). Sebaiknya tahun depan (2024) mulai dioperasikan ERP ini dan telah LRT Jabodebek beroperasi tahun ini (dapat menambah kapasitas angkutan umum) dan masih ada sisa waktu untuk sosialisasi ke warga.
Kebijakan politis
Secara politis, diragukan anggota DPRD DKI Jakarta akan meloloskan Raperda ini. Dilematis buat anggota DPRD DKI Jakarta yang akan mencalonkan diri menjadi anggota legislatif 2025-2029. Konstituen yang menolak ERP kemungkinan tidak akan memilihnya. Sementara jika tidak dijadikan Perda, Jakarta akan tambah semakin macet, maka warga nanti akan menyalahkan DPRD bukan Gubernurnya.
*_Sekarang saatnya lebih tepat penerapan ERP ketika Prov. DKI Jakarta dipimpin PJ Gubernur Heru Budi Hartono yang tidak memiliki beban politik_*
Tarif yang dikenakan bisa ditinggikan lagi, tarif Rp 5 ribu – Rp 20 ribu masih terlalu rendah (batas tertinggi bisa mencapai Rp 75 ribu). Tujuannya, agar ada efek jera menggunakan kendaraan pribadi secara berlebihan di jalan umum.
(_*Djoko Setijowarno*, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata_)