Oleh: Djoko Setijowarno *)
PATRAINDONESIA.COM (Jakarta) Angka kecelakaan truk barang menduduki peringkat kedua. Penghasilan rata-rata pengemudi truk di bawah upah minimal di daerah. Kurang perhatian pemerintah pada kesejahteraan pengemudi, suatu saat akan menjadi bom waktu yang merugikan kita semua. Sekarang banyak pengemudi truk yang beralih profesi, sehingga jumlah pengemudi mengalami penurunan. Sementara pejabat negeri ini masih tidak peduli dengan kompentensi dan kesejahteraan pengemudi angkutan umum.
”Menjadi sopir itu berat, risikonya besar. Begitu masuk ke mobil, sopir itu sudah menjadi calon tersangka. Bagaimana tidak? Kalau ada razia kendaraan ODOL, kami pasti kena.Apalagi kalau kecelakaan, sudah pasti sopir yang dijadikan tersangka,” kata Suroso, Selasa(24/12/2024).
Menurut Suroso, Perusahaan jasa pengangkutan barang biasanya memasang tarif semurah mungkin. Hal itu dilakukan supaya mereka bisa tetap mendapat muatan di tengah ketatnya persaingan di pasar. Biaya operasional ditekan melalui berbagai upaya, termasuk mengangkut sejumlah barang sekaligus dalam satu perjalanan. Risiko besar yang mengintai para sopir di jalanan tidak sebanding dengan upah yang mereka terima (Kompas, 28/12/2024).
Tiga basic fundamental untuk keselamatan armada truk dan bus, yaitu (1) belum ada kewajiban perawatan safety item, contoh minimal sistem rem yang harus dioverhaul setiap 3 tahun (seperti moda lainya), (2) tidak ada batasan yang jelas untuk jam kerja dan istirahat pengemudi seperti masinis atau pilot, dan (3) tidak standar kesehatan mental dan fisik untuk pengemudi seperti pada moda lainya (Soerjanto, 2024).
Menurut Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT, 2024), ada beberapa masalah krusial pada pengemudi angkutan umum di Indonesia yang diidentifikasi, yaitu *jumlah pengemudi bus dan truk di Indonesia mengalami penurunan*, rasio dengan jumlah kendaraan yang beroperasi, sudah masuk dalam zona berbahaya (_danger_). Ini jelas sangat berisiko tinggi terhadap keselamatan, karena dapat memungkinkan pengemudi bus untuk mengendarai kendaraan truk, atau sebaliknya, kompetensi atau keahlian mengemudinya tentunya berbeda. *Kecakapan pengemudi sangat rendah* dalam mengoperasikan kendaraan, dengan memanfaatkan teknologi yang ada pada bus dan truk, serta kemampuan melakukan pendeteksian dini atas kondisi kendaraan yang mengalami bad condition.
Hal ini teridentifikasi dari faktor-faktor penyebab kecelakaan bus dan truk yang terkait dengan kecakapan pengemudi, ternyata tidak tertangkap (_capture_) pada mekanisme pengambilan SIM B1/B2, serta mekanisme pelatihan _defensive driving training_ (DDT) yang selama ini dijadikan persyaratan wajib oleh Kementerian Perhubungan untuk memberi izin. Sebagai pengemudi tidak hanya cukup berbekal keahlian dalam berkendara, namun juga mendalami teori dan praktik dengan menitik beratkan pada keselamatan, maka akan menjadikan pengemudi lebih percaya diri. Waktu kerja, waktu istirahat, waktu libur, dan tempat istirahat pengemudi bus dan truk di Indonesia sangat buruk. Tidak ada regulasi yang melindungi mereka, sehingga performance mereka berisiko tinggi terhadap kelelahan dan bisa berujung pada micro sleep.
Faktor risiko penyebab terjadinya suatu kecelakaan lalu lintas, menurut KNKT (2024) sebanyak 84 persen penyebab kecelakaan yang saat ini terjadi akibat kegagalan sistem pengereman dan kelelahan pengemudi. Kegagalan sistem pengereman dapat disebabkan diantaranya oleh kondisi pengemudi yang tidak siap, serta tidak menguasai kendaraan, atau pun kondisi dari sarananya (kendaraan) itu sendiri. Adapun penyebab kelelahan pengemudi adalah kurangnya waktu untuk beristirahat.
Pengemudi bukan hanya memiliki kemampuan teknik mengendarai yang baik dan pengetahuan berlalu lintas yang baik. Namun juga harus memiliki kepribadian dan kompetensi yang baik, meliputi skill, knowledge, dan attitude, sehingga dapat melayani dan menghargai penumpang dengan mengutamakan keselamatan dan keamanan.
Selama tahun 2024, pemetaan di lapangan dan diskusi dengan beberapa pihak berkepentingan (_stakeholder_) sudah dilakukan *Pusat Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan*. Hasil pengamatan dan wawancara dengan pengemudi angkutan umum mendapatkan usia pengemudi rata-rata 40 – 55 tahun, surat ijin Mengemudi (SIM) yang dimiliki pengemudi belum sesuai dengan jenis kendaraan yang dikemudikannya, pengemudi memperoleh SIM tanpa melalui Pendidikan dan Pelatihan/Diklat (tanpa Surat Tanda Tamat Pendidikan dan Pelatihan (STTPP). Pengemudi melakukan Diklat dengan biaya dari perusahaan murni, bila biaya sendiri pengemudi merasa berat. Kurang sosialisasi bahwa pengemudi wajib kompetensi pengemudi melalui diklat dan uji kompetensi, sehingga tidak diperoleh pengemudi yang telah mengikuti uji kompetensi. Kurang pahamnya pengemudi terhadap pentingnya kompetensi pengemudi. Penghasilan pengemudi sebulan rata-rata Rp 1 juta sampai dengan Rp 4 juta, masih di bawah upah minimal di daerah.
Selanjutnya, perusahaan angkutan umum kesulitan untuk mendapatkan pengemudi yang kompeten apalagi tersertifikasi, sehingga saat ini jumlah pengemudi angkutan umum mengalami penurunan dibanding dengan jumlah kendaraan yang beroperasi. Rekrutmen pengemudi belum didasarkan pada kompetensi pengemudi. Perusahaan belum melaksanakan Sistem Manajemen Keselamatan Pengemudi Angkutan Umum (SMK PAU) salah satu elemennya adalah peningkatan kompetensi keahlian, hal ini disebabkan terbatasnya dana dan sumber daya manusia (SDM). Kurangnya peserta diklat dari inisiatif Perusahaan Otobus (PO) atau pribadi pengemudi karena terbatasnya anggaran. Kurangnya dukungan pemda dalam mendukung pengembangan kompetensi pengemudi.
Beberapa rekomendasi sudah diberikan ke Menteri Perhubungan, seperti mewujudkan penyelenggaraan NSPK Sekolah Mengemudi dalam rangka memperoleh pengemudi angkutan umum yang professional, perubahan kontrak kerja pengemudi dari sebagai mitra perusahaan menjadi pegawai perusahaan, peran serta semua pemangku kepentingan dalam mewujudkan pengembangan kompetensi pengemudi angkutan umum, peningkatan peran Pemda dalam mendukung pengembangan kompetensi pengemudi angkutan umum, dan mewajibkan adanya devisi keselamatan pada struktur organisasi perusahaan angkutan.
Data Korlantas Polri (2024), menyebutkan faktor penyebab kecelakaan lalu lintas angkutan barang dan bus sebanyak *98 persen karena kelalaian pengguna* (_human error_). Sisanya 1,7 persen kondisi kendaraan tidak memenuhi standar teknis dan 0,3 persen disebabkan prasarana dan lingkungan. Dari total jenis kendaraan yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas, sebesar 10 persen armada angkutan barang. Menempati peringkat kedua setelah sepeda motor (79 persen). Angkutan bus 8 persen dan mobil penumpang 3 persen.
Memastikan kendaraan truk siap beroperasi
Ada enam langkah untuk memastikan kendaraan truk siap dioperasikan (KNKT, 2024).
Pertama, menyiapkan kendaraan dengan benar. Kendaraan di parkir di tempat yang sesuai dan memastikan roda terganjal. Menurunkan rem tangan dan memutar kunci kontak ke posisi “on”. Memastikan semua fungsi kendaraan berjalan normal (tidak ada lampu indikator yang menyala), tabung angin terisi penuh.
Kedua, mengecek kebocoran pneumatic. Menginjak pedal rem selama kurang lebih dua menit. Tekanan angin tidak boleh turun lebih dari 0,5 bar. Jika tekanan angin lebih 0,5 bar, kampas rem mungkin bermasalah, maka segera menghubungi mekanik untuk pemeriksaan. Jika tekanan angin terus menurn, kemungkinan ada kebocoran. Maka matikan mesin, periksa desain di sekitar kendaraan, dan laporkan ke mekanik jika ditemukan kebocoran.
Ketiga, memeriksa kondisi tabung angin. Menarik tuas atau cincin tabung angin. Jika keluar air atau oli, maka dihentikan operasi dan minta mekanik memeriksa filter air dryer atau kompresor.
Keempat, memastikan rem berfungsi optimal. Menguji exhaust brake (skep/brake/rem angin) dan rem tangan untuk memastikan keudanya bekerja dengan baik. *Kelima*, mengecek sistem hidrolik. Memastkan tidak ada kebocoran minyak rem. Memeriksa persediaan minyak rem agar dalam kondisi cukup.
Keenam, pemeriksa ban. Memastikan tekanan angin dan kondisi fisik ban dalam keadaan baik.
Sementara jika kendaraan melewati jalan menurun, KNKT (2024) telah memberikan prosedur. *Pertama* sebelum memasuki jalan menurun, pindahkan posisi transmisi ke gigi rendah. *Kedua*, Ketika jalan mulai menurun aktifkan _exhaust brake_ dan pertahankan _exhaust brake_ tetap aktif (jangan matikan dan hidupkan berulang-ulang). *Ketiga*, jika jarum RPM masih naik dan menuju ke zona merah (zona bahaya), injak pedal rem secukupnya untuk mengembalikan posisi jarum RPM ke zona putih (torsi maksimal) dan lepaskan kembali pedal rem jika jarum RPM sudah berada di zona putih (aman).
*Keempat*, hindari penggunaan rem pedal secara berulang-ulang atau pengereman panjang karena hal ini dapat menyebabkan rem tidak berfungsi (rem blong). *Kelima*, maksimalkan bidang pandang di luar kendaraan, sehingga mampu mengatisipasi keadaan lalu lintas di depan dan memiliki cukup waktu.
Rekomendasi dari Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan sudah dilayangkan ke Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi. Kita tunggu kebijakan selanjutnya dari Menteri Perhubungan, supaya angka kecelakaan menurun. Juga selalu dinanti ketegasan Presiden Prabowo Subianto mengatasi angkutan barang berdimensi dan bermuatan lebih (_overdimension overload_/ODOL). Jika masih diabaikan, truk akan tteap menjadi pencabut nyawa di jalan. Bermobilitas di negeri yang tidak berkeselamatan akan menghambat cita-cita pemerintah *mewujudkan menuju Indonesia Emas 2045
*). Djoko Setijowarno, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat
Komentar