oleh

Nasib Mereka (Narapidana) Ketika Bebas

Oleh: Bella Rhomadani BN, Editor SKH Palangka Post

NARAPIDANA (napi) atau sekarang disebut dengan warga binaan permasyarakatan (WBP) selalu mendapat stigma negatif dari masyarakat. Peluang mantan napi untuk mendapatkan pekerjaan yang layak sangat sulit. Akibatnya, banyak mantan napi yang justru bekerja serampangan dan tak sedikit dari mereka yang kembali kepada kebiasaan buruk masa lalunya.

Padahal stigma negatif ini lah yang menjadi batu sandungan terbesar seorang mantan napi merebut kembali kepercayaan masyarakat. Memang, dalam perjalanannya perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh napi tidak bisa dibenarkan. Namun, apakah mereka tidak bisa memperbaiki diri dan berubah menjadi manusia yang baik di mata masyarakat dan Tuhannya? Apakah mereka tidak bisa kembali seperti dahulu? Apakah mereka yang pernah tersesat, tidak boleh kembali ke jalan yang benar? Tuhan saja maha pemaaf, lalu manusia bagaimana?

Apalagi seorang napi sudah dijatuhi hukuman yang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Mereka juga sudah menjalani hukumannya. Selama di dalam lembaga pemasyarakatan, pastinya mereka sudah mendapat bimbingan yang baik oleh petugas. Lantas bagaimana nasib mereka di masa depan?

Tugas Pemasyarakatan

Melihat sejarah pemasyarakatan di Indonesia, pertama kali gagasan pemasyarakatan dicetuskan oleh Dr. Sahardjo, SH. pada tanggal 05 Juli 1963 dalam pidato penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa di bidang Ilmu Hukum oleh Universitas Indonesia. Gagasan tersebut kemudian dikonsepkan lebih lanjut sebagai suatu sistem pembinaan terhadap narapidana di Indonesia menggantikan sistem kepenjaraan pada tanggal 27 April 1964 dalam konferensi Dinas Direktorat Pemasyarakatan di Lembang, Bandung.

Pemasyarakatan dalam konferensi ini dinyatakan sebagai suatu sistem pembinaan narapidana dan merupakan pengejawantahan keadilan yang bertujuan untuk mencapai reintegrasi sosial warga binaan pemasyarakatan dalam kapasitasnya sebagai individu, anggota masyarakat maupun makhluk Tuhan. Dalam perkembangan selanjutnya, pelaksanaan sistem pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, penghormatan harkat dan martabat manusia.

Dari sejarahnya pun jelas, jika pemasyarakatan memiliki tugas pembinaan dan pengejawantahan keadilan. Yang mana jika dirincikan tugas pemasyarakatan yakni, melakukan pembinaan narapidana/anak didik; memberikan bimbingan, mempersiapkan sarana dan mengelola hasil kerja; melakukan bimbingan sosial/kerohanian narapidana/anak didik; melakukan pemeliharaan keamanan dan tata tertib lembaga pemasyarakatan; melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga.

Dari tugas-tugas pemasyarakatan tadi cukup jelas, jika napi saat menjalani hukuman di penjara tidak semata-mata hanya menjalani hukuman kurungan saja. Namun, napi mendapat bimbingan, mulai kerohanian hingga pelatihan kemandirian. Jadi sangat jelas, sejelas-jelasnya, jika napi mengikuti bimbingan dan pelatihan dengan baik maka mereka siap kembali ke masyarakat. Tidak ada istilah stigma negatif yang harus menunggu mereka setelah bebas.

Mereka Berhak Sukses

Hakikatnya, siapa pun berhak sukses. Tidak peduli usia, gender, suku, agama, atau ras. Apalagi yang dulunya punya masa lalu yang kelam seperti mantan napi. Pandangan masyarakat yang negatif terhadap orang yang pernah di penjara memang sering kali ditemui. Dan ini menjadi tantangan paling berat yang harus dihadapi para mantan napi.

Mereka harus berusaha merebut kembali kepercayaan keluarga, teman-teman, dan masyarakat sekitar. Tentu ini bukan perkara mudah. Tapi, bukan berarti mustahil dilakukan. Sudah banyak bukti jika WBP dapat meraih kesuksesan. Dikutip dari berbagai sumber, salah satu mantan WBP yang dapat sukses ialah Jumaro Joko Pratomo. Bebas dari penjara tidak membuat Jumaro putus asa. Bersama dua orang rekannya, dia merintis usaha kerajinan berbahan dasar bambu.

Usaha yang mulai dirintis tahun 2000 ini berkembang pesat. Saat ini usaha yang diberi nama Galeri Bamboo Art 76 telah mempekerjakan ratusan orang yang juga memiliki latarbelakang seorang napi. Senasip dengan Joko, Hardadi juga seorang mantan napi yang kini sukses merintis usaha. Cukup sekali dia dipenjara karena kasus narkoba. Masuk penjara tahun 2009 dan bebas enam bulan kemudian.

Hardadi benar-benar dapat membuktikan jika mantan napi juga berhak sukses. Setelah bebas Hardadi mencoba membuka usaha kuliner berbahan singkong dengan taburan keju. Berkat usaha kerasnya, dan pada awal 201 ia memperoleh pinjaman dari Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) sebesar Rp2 juta usahanya dengan merek dagang Singkong Keju D-9 berkembang hingga berhasil membuka lapangan pekerjaan untuk ratusan orang.

Bukti kesuksesan ini harus menjadi angin segar dan contoh bagi ribuan WBP di Indonesia, termasuk Kalimantan Tengah. Para WBP di daerah berjuluk Bumi Tambun Bungai ini harus mematri kata-kata ‘Bahwa Napi Berhak untuk Sukses’.

Tentu mereka tidak bisa berjalan sendiri, Kantor Wilayah Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Kalimantan Tengah sebagai komando, diikuti langkah cepat rutan dan lapas untuk memberi bekal kepada WBP harus wajib dilakukan dengan masimal. Bukan sekadar, rutinitas di dalam penjara tanpa menelurkan mantan WBP yang sukses di masyarakat.

Jika Bukan Rutinitas

Sejauh ini kegiatan pelatihan kemandirian yang dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan boleh dikatakan hanya rutinitas dan formalitas belaka. Memang tujuannya baik. Dan banyak dampak positif dari kegiatan itu. Tapi, dalam kenyataannya masih banyak napi yang belum memiliki pondasi yang kuat untuk kembali kemasyarakat. Mereka kebanyakan bingung. Memiliki keahlian cukup tapi modal tidak ada, atau sebaliknya.

Memang keberhasilan program kemandirian yang diberikan tidak hanya berada di tangan lembaga pemasyarakat. Napi sebagai objek pelatihan memiliki tanggung jawab besar mengaplikasikan keahlian yang diberikan saat bebas nanti.

Namun, mungkinkah lembaga pemasyarakatan memfasilitasi seorang napi jika ingin sukses? Tentu saja mungkin. Pertama, lembaga pemasyarakatan membuat bengkel kerja atau usaha yang dalam praktiknya bekerjasama dengan pihak ketiga. Atau lembaga pemasyarakatan memanfaatkan dan atau memaksimalkan anggaran koperasi yang ada untuk modal usaha tersebut. Dengan catatan, usaha yang dilakukan sudah sesuai prosedur yang berlaku dan profitable.

Usaha tersebut tenaga kerjanya menyerap napi yang sudah mendekati masa bebas atau mantan napi yang telah memenuhi syarat untuk melakukan pembebasan bersyarat (PB). Bisa juga napi yang mendapat atau mengikuti program asimilasi rumah. Dengan asumsi penggajian, 50 persen gaji diberikan kemudian 50 persen sisanya ditabung untuk modal ketika masa kerja habis. Khusus untuk napi yang masih menjalani masa pidana (tamping) diberi premi sesuai ketentuan yang berlaku.

Gambarannya, mereka digaji Rp2 juta per bulan. Kemudian, Rp1 juta (50 persen) diberikan kepada pekerja, dan Rp1 juta (50 persen sisanya) disimpan di kas untuk modal. Bila masa kerja 1 tahun maka pekerja sudah mengantongi Rp12 juta untuk modal usaha.

Hal ini juga bisa dilakukan oleh Bapas atau Balai Pemasyarakatan. Apalagi Bapas memiliki tugas, pokok, dan fungsi memberikan bimbingan kemasyarakatan dan pengentasan anak sesuai dengan peraturan. Bahkan Bapas juga memiliki anggaran kemandirian, jadi gambaran tadi mudah untuk direalisasikan.

Lembaga pemasyarakatan atau Bapas juga bisa bekerjasama dengan Dinas Ketenagakerjaan di wilayahnya. Kerjasama ini bukan lagi membentuk bengkel kerja, melainkan dalam rangka menyalurkan para mantan napi yang akan mencari lapangan pekerjaan. Tentu jaminan keamanan dan kelayakan juga harus ada agar perusahaan yang akan mempekerjakan mantan napi tidak memiliki stigma negatif.

Bukan Hanya Tugas Pemasyarakatan

Memang kesuksesan itu di tangan individu dan Tuhan. Namun, tanpa dukungan lingkungan sekitar langkah seseorang untuk menuju kesuksesan tidak akan mudah diraih. Terlebih, ini menyangkut masa depan seorang yang memiliki label narapidana.

Dalam konteks ini lembaga pemasyarakatan dan kementerian yang menaunginya memiliki porsi tanggung jawab yang lebih besar. Berhasil dan tidaknya napi menjadi lebih baik, menurut pandangan masyarakat mereka yang harus tanggung jawab. Padahal tidak seperti itu. Ini menjadi tanggung jawab bersama. Mulai dari individu, masyarakat, pemerintah, hingga pihak swasta yang memiliki permodalan yang besar. Bagaimana tidak? Jika seorang napi berhasil menjadi sukses, hal ini akan memiliki multiplayer efek yang besar.

Pertama, menyangkut persentase tindak kejahatan. Banyak faktor yang menyebabkan tingkat kriminalitas begitu tinggi di suatu daerah. Salah satunya yakni mantan napi yang kembali melakukan kejahatan. Meski persentase ini tidak begitu besar, namun jika seorang mantan napi dapat menatap kehidupan lebih baik dan sukses kejahatan tidak akan terjadi.

Kedua, membantu perekonomian daerah dan menjadi contoh masyarakat lain. Semakin banyak orang sukses maka perekonomian daerah akan terbantu. Pertanyaannya kenapa tidak membantu masyarakat lain yang lebih membutuhkan? Kenapa harus mantan napi yang harus dibantu untuk sukses? Pemerintah sudah menelurkan banyak program dan kebijakan untuk membantu masyarakat untuk memulihkan perekonomian, jadi apakah mantan napi ini tidak berhak untuk mendapatkan perlakuan yang sama? Jika banyak mantan napi yang selama seperempat hingga setengah hidupnya di penjara yang sukses setelah bebas, hal itu akan memacu semangat masyarakat lain untuk sukses juga.

Ketiga, memperbaiki citra pemasyarakatan di mata masyarakat. Tidak bisa dipungkiri jika citra pemasyarakatan di mata masyarakat sudah banyak yang tercoreng. Salah satunya banyak peredaran narkoba yang dilakukan dari dalam penjara, pun dengan tidak kejahatan lain. Dengan adanya mantan napi yang sukses, maka citra lembaga pemasyarakatan akan baik. Mengingat banyak dampak positif dari hal ini, maka tidak ada salahnya membantu dan membuat mantan napi menjadi sukses. (*)

Disclaimer: Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh SKH Palangka Post di halaman Opini pada 26 April 2023. Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Patraindonesia.com dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Loading