oleh

Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur: PNBP dan Harga Patokan Ikan (HPI)

PATRAINDONESIA.COM – Kebijakan penangkapan ikan terukur telah memasuki tahapan realisasi. KKP memberikan izin kepada beberapa perusahaan dalam negeri sebagai mitra dalam penangkapan ikan. Sejauh mana kebijakan ini dapat direalisasikan?.

Kebijakan tersebut, kontras dengan visi poros maritim dunia yang menjaga lingkungan, sumberdaya hayati, keanekaragaman dan kesejahteraan masyarakat.

Bagaimana tidak? perusahaan yang diberikan izin oleh KKP melakukan mobilisasi nelayan dan kapal dalam jumlah ratusan ribu. Izin penangkapan ikan diberikan dalam jangka waktu panjang sekitar 30 tahun kedepan.

Apabila pengusahanya kuat bertarung dalam plasma bisnis. Izin bisa juga jangka waktu pendek, apabila perusahaan tidak pandai mengelola tantangan dan manajemen nelayan sebagai basis perolehan bahan baku.

Kebijakan penangkapan ikan terukur diperuntukan menjaga ekosistem laut supaya tetap bersih, sehat dan sumberdaya ikan tidak terjadi overfishing.

Namun, kebijakan di tengah jalan direvisi yakni perusahaan membayar PNBP sebelum produksi dan/atau sebelum penangkapan ikan (operasi) menjadi bayar pasca produksi.

Beberapa perusahaan yang mendapat izin operasional membayar PNBP sebelum beroperasi.

Namun, setelah melihat kondisi pengusaha yang dipengaruhi keuangan global dan rantai bisnis perikanan sangat menyulitkan. Maka pembayaran PNBP diputuskan kembali pada konsep awal yakni pembayaran PNBP Pasca Produksi.

Pertanyaan yang muncul, Kemana uang pengusaha yang telah membayar PNBP diawal. Apalagi pembayaran tersebut syarat mutlak mendapat kuota tangkap berbagai jenis ikan.

Pengeluaran izin kuota tangkap dominasi perusahaan swasta nasional. Kemudian, membentuk sejumlah paguyuban di bawah kendali perusahaan yang bersifat terikat secara langsung dengan kelembagaan nelayan.

PNBP Naik dalam Setahun? Aneh binti Ajaib

Pada tahun 2022 bulan April dan Mei, perkiraan ketersediaan ikan tangkapan dan budidaya sebesar 2,99 juta ton. Benarkah? Menurut KKP kinerja pembangunan perikanan tangkap pada tahun 2022 tunjukkan trend positif.

Rata-rata nilai tukar nelayan (NTN) sampai bulan November 2022 adalah 106,56. Jumlah produksi perikanan tangkap hingga triwulan III tercatat sebesar 5,96 juta ton dengan nilai produksi capai 182,59 triliun.

Sementara, angka penerimaan negara bukan pajak (PNBP) telah mencapai Rp 1,79 triliun di 2022 berasal dari sumber daya alam (SDA) perikanan sebanyak Rp1,1 triliun, non-SDA Rp611,8 miliar, serta BLU Rp44,3 miliar.

Sedangkan volume produksi perikanan sampai triwulan III tahun 2022 capai 18,45 juta ton yang terdiri dari hasil tangkapan sebanyak 5,97 juta ton, hasil perikanan budidaya 5,57 juta  ton, dan rumput laut sebanyak 6,9 juta ton.

Aneh binti Ajaib kan dari semua angka di atas, sementara penetapan PNBP Pascaproduksi diatur dalam PP Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Bagaimana mungkin kenaikan PNBP begitu radikal dalam kurun waktu setahun, padahal kebijakan Penangkapan Ikan Terukur baru dilaksanakan tahun 2023 ini. Karena baru saja Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah tentang Penangkapan Ikan terukur.

Banyak faktor pendukung indikasi kebocoran data soal kenaikan PNBP yang bergantung pada nelayan, kapal, perlengkapan, dan lainnya. Heran dalam 1 tahun bisa naik tiga kali lipat.

Padahal penangkapan ikan terukur melestarikan sumberdaya ikan, bukan eksplotasi.

Kalau kebijakan lelang kuota tangkap pada amanat Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sifatnya melindungi, melestarikan dan memelihara sumber daya ikan. Tanpa harus dieksploitasi sistem kuota sehingga tidak terjadi overfishing ke depan.

Namun, regulasi kebijakan ini, mendasarkan pertimbangan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sementara UU Cipta Kerja sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi untuk diperbaiki dalam jangka waktu dua tahun ke depan.

Walaupun, satu sisi penerapan PNBP Pasca produksi didukung oleh infrastruktur teknologi salah satunya aplikasi e-PIT yang akan dipakai pelaku usaha untuk menginput jumlah hasil tangkapan. Dari sistem ini jugalah, pelaku usaha akan mengetahui secara otomatis besaran PNBP Pascaproduksi yang harus dibayarkan ke negara. Hal ini tidak akan maksimal. Karena tidak setiap Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) terdapat timbangan secara online.

Apalagi di setiap PPN hanya disediakan satu dua timbangan online yang tersambung dengan aplikasi e-PIT itu.

Sementara, KKP tetap meminta nelayan untuk patuh dan taat terhadap regulasi yang sudah diterbitkan. Namun, tidak diimbangi oleh tingkat pencapaian kesejahteraan nelayan.

Mestinya, pemerintah yang telah menetapkan kebijakan penangkapan ikan terukur ini, tidak bertentangan dengan semangat gotong royong dan welfare fishing.

Penting pertimbangkan ulang kebijakan ini, karena ke depan akan persempit ruang gerak bagi nelayan – nelayan berkapasitas kecil karena harus bersaingan dengan penggunaan alat tangkap (produksi ikan) yang jauh lebih besar.

Populasi nelayan kecil di berbagai pulau-pulau di Indonesia, masih menggunakan alat tangkap seadanya untuk bekerja dalam mencukupi kebutuhan dasar keluarga.

Sedangkan nelayan modern dan/atau industri yang dimiliki perusahaan yang mendapat kuota tangkap menggunakan alat tangkap yang jauh lebih eksploitatif.

KKP menerbitkan Kepmen penangkapan kuota ikan demi menghidupkan 77 pelabuhan perikanan di Indonesia yang akan menambah pundi – pundi PNPB untuk negara dan kapal perikanan yang sudah mengantongi izin PNBP Pasca produksi per Februari sebanyak 576 kapal.

Sejauh ini, KKP belum lengkap jumlah kapal yang beroperasi. Sebenarnya sudah ratusan ribu kapal nelayan yang sudah jalan melakukan penangkapan ikan. Bekerjasama dengan perusahaan. Namun, tidak MoU kontrak kerjasama secara tertulis.

Karena pada prinsipnya perusahaan tidak mau membayar seluruh proses pengurusan izin kapal nelayan. Padahal perusahaan harus mengurus izin seluruh kapal yang bekerjasama dalam penangkapan ikan berbasis kuota. Namun data KKP hanya mencatat data – data kapal sejumlah 576 kapal yang di daftarkan oleh perusahaan masing – masing.

Bagaimana kapal nelayan yang lain, tidak diurus izin oleh perusahaan, padahal mestinya harus diurus? Hal ini semacam wajib sesuai peraturan yang telah diterbitkan oleh KKP.

Menurut KKP bahwa pungutan PNBP pada dasarnya berupa harga acuan ikan. Sehingga semakin banyak ikan yang ditangkap, maka PNBP yang diterima akan semakin besar.

Hal ini belum tentu, karena potensi kebocoran sangat besar. Misalnya dari jumlah kapal yang dioperasikan dan jumlah tangkapan yang terhitung dan/atau tidak terhitung saat pendaratan.

Kebocoran itu sangat perlu dipelajari dan diantisipasi. Karena terkait perolehan PNBP yang sangat besar sekali, misalnya ada sejumlah 10 juta ton setahun dengan rata-rata Rp 40.000 per kilo, maka PNBP yang diperoleh sekitar Rp 280 triliun-an.

Penetapan PNBP pasca-produksi diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan.

KKP telah menerbitkan lima peraturan turunan dalam melaksanakan pungutan PNBP Pascaproduksi.

Pertama, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penetapan Nilai Produksi Ikan Pada Saat Didaratkan. Kedua, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2023 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengenaan Tarif Atas Jenis PNBP yang Berlaku pada KKP yang Berasal dari Pemanfaatan Sumber Daya Alam Perikanan.

Ketiga, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor No. 4 Tahun 2023 Tentang Penetapan Pelabuhan Pangkalan Yang Telah Memenuhi Syarat Penarikan Pasca Produksi Atas Jenis PNBP yang Berasal dari Pemanfaatan SDA Perikanan.

Keempat, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor No. 21 Tahun 2023 Tentang Harga Acuan Ikan.

Kelima, Surat Edaran Menteri Kelautan dan Perikanan No. B.1337/MEN-KP/XII/2022 tentang Penggunaan Aplikasi Penangkapan Ikan Terukur Secara Elektronik (e-PIT).

Harga Patokan (Acuan) Ikan (HPI)

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 21 Tahun 2023 Tentang Harga Acuan Ikan yang terbit pada 20 Januari 2023 perlu dianalisis secara keseluruhan.

Kepmen ini, merugikan nelayan dan tidak memberikan ruang kenaikan harga pada hasil tangkapan dan produksi hasil nelayan.

Harga acuan ikan yang diterbitkannya tidak sertakan berbagai masukan dari stakeholders. Apalagi, sisi gelap harga ikan dalam pandangan pengusaha. Intinya, tak ada satupun pengusaha (perusahaan) yang mendapatkan kuota izin tangkap ingin harga lebih tinggi. Jelas inginkan harga lebih murah, bila perlu tidak ada harga. Itulah prinsip perusahaan yang mendapatkan kuota penangkapan ikan terukur.

Atas dasar pelaku usaha yang memberikan perlengkapan infrastruktur kapal nelayan dan modal operasional nelayan dalam melaut. Namun, harga tetap diminta potongan 50% dan ditambahkan 30% potongan modal operasional.

Hal ini yang membuat nelayan merasa tertindas. Hanya 20% sisa harga ikan yang dinikmati oleh nelayan.

Apa yang bisa diperbuat nelayan?. Makin sengsara dan dapurnya rubuh.

Kalau benar, harga acuan ikan pertimbangkan harga pokok produksi atau biaya operasional. Maka, keputusan Menteri KKP harus dirubah dan diperjelas standarnya, sehingga produktivitas perikanan tangkap berjalan meningkat.

Karena standar perusahaan ikan, tetap memotong hasil penjualan ikan sekitar 50% dan memotong 30% dari harga ikan.

Sebaiknya sumber daya perikanan berupa ikan, cumi, kepiting, lobster, rajungan dan lainnya, yang ditangkap oleh perusahaan yang mendapat izin kuota melalui skema kerjasama dengan nelayan harus ada rumusan pembagian yang berkeadilan.

Karena sistem penangkapan ikan berbasis kuota sangat dominan melakukan penindasan oleh perusahaan. Hal itu tidak jauh beda nelayan bekerja seperti masa kerja romusha (kerja paksa) dan penjajahan Belanda.

Ketetapan harga acuan ikan, tidak perhitungkan biaya ongkos kerja nelayan saat melaut. Tentu, hal ini akan berpengaruh pada besaran Penerimaan  Negara Bukan Pajak (PNBP) dan pembagian prosentase sebagai penunjang kesejahteraan nelayan.

Misalnya ada sejumlah 10 juta ton setahun dengan rata-rata Rp 40.000 per kilo, maka PNBP yang diperoleh sekitar Rp 280 triliun-an. Dengan 40.000 harga patokan ikan itu, KKP tidak pertimbangkan perilaku perusahaan yang sering memotong harga ikan.

Apalagi, KKP telah merubah sistem pengawasan, dari input control ke output control. Artinya, pengusaha perikanan akan dikenakan pungutan hasil perikanan (PHP) sesuai dengan jumlah ikan yang ditangkap.

Sebelumnya, PNBP dikenakan pra-produksi, di mana pungutan hasil perikanan (PHP) dilakukan sebelum melaut.
(Penulis: Rusdianto Samawa, Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI)

Loading