PATRAINDONESIA.COM (PALANGKA RAYA) – Di tengah euforia perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, kita dihadapkan pada ironi yang menyesakkan dada. Sementara kita merayakan kebebasan dari penjajahan asing, negeri ini masih terjebak dalam “penjajahan” dari dalam – korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang menggerogoti fondasi bangsa.
Terbaru, sebuah kasus di Kabupaten Barito Timur (Bartim) Kalimantan Tengah, menjadi cermin, begitu dalam di tubuh birokrasi kita. Temuan wartawan setempat mengungkap dugaan permainan anggaran yang melibatkan media lokal. Tiga media yang keberadaannya dipertanyakan justru mendapat jatah kontrak pemasangan advertorial yang tidak proporsional dibanding media lainnya.
Fenomena ini bukan sekadar dugaan pelanggaran prosedur administratif. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanat rakyat. Anggaran negara, yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat, termasuk nutrisi informasi yang merata, justru menjadi alat bagi segelintir pejabat untuk memperkaya diri dan kelompoknya.
Dalam teori ekonomi politik, perilaku semacam ini dikenal sebagai “rent-seeking behavior.” Para pejabat memanfaatkan posisi dan kewenangannya untuk mendapatkan keuntungan ekonomi tanpa memberikan nilai tambah bagi masyarakat. Alih-alih menciptakan “kue” yang lebih besar untuk dibagi, mereka justru memperebutkan “kue” yang ada dengan cara-cara tidak etis.
Lebih mengkhawatirkan lagi, penggunaan media, bukan tanpa tujuan. Ada dugaan kuat bahwa hal ini dilakukan untuk memperkecil potensi pemeriksaan oleh aparat penegak hukum. Dengan membungkus tindakan dalam bentuk kerjasama media yang seolah-olah sah, para pejabat berharap dapat mengelabui sistem pengawasan dan lolos dari jerat hukum.
Hal itu disampaikan Ketua Pengurus Wilayah Ikatan Wartawan Online (PW IWO) Kalimantan Tengah (Kalteng) Deni Liwan, Jumat, (16/08/2024) melalui telepon seluler via pesan singkat WhatsApp kepada awak media online.
“Strategi ini sungguh berbahaya dan merusak. Tidak hanya merugikan negara secara finansial, tapi juga mencoreng integritas pers sebagai pilar keempat demokrasi. Media yang terlibat dalam permainan kotor ini telah mengorbankan fungsi mulianya sebagai pengawas kekuasaan demi keuntungan jangka pendek. Mereka telah mengkhianati kepercayaan publik dan mencederai kehormatan profesi jurnalistik,” ucap dia.
Oleh karena itu, sangat penting untuk membongkar praktik-praktik tersembunyi ini. Pers yang masih menjunjung tinggi integritas harus berani mengungkap kebenaran, tidak peduli seberapa tidak nyaman atau berbahayanya hal itu. Asosiasi jurnalis dan organisasi masyarakat sipil harus bersatu dalam mengawal independensi dan objektivitas media.
Sementara itu, aparat penegak hukum harus lebih jeli dalam melihat modus-modus baru yang bersembunyi di balik kedok kerjasama media. Pemeriksaan menyeluruh terhadap kontrak-kontrak advertising pemerintah dengan media perlu dilakukan, terutama jika ditemukan kejanggalan seperti nilai kontrak yang tidak wajar atau diberikan kepada media yang kredibilitasnya diragukan.
Hanya dengan membongkar praktik-praktik ini, kita bisa memulihkan kehormatan pers. Ini bukan hanya tentang menyelamatkan uang negara, tapi juga tentang menyelamatkan integritas institusi demokrasi kita.
Perayaan HUT RI tahun ini harus menjadi momentum introspeksi dan pembaharuan tekad. Kita harus berani meneriakkan “merdeka” bukan hanya dari penjajahan asing, tapi juga dari “penjajahan” oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab di negeri sendiri.
“Hanya dengan demikian, cita-cita Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur bisa benar-benar terwujud,” demikian pungkas Ketua PW IWO Kalteng Deni Liwan. (Amar/Red/PI).