oleh

Modal Usaha Kelautan dan Perikanan Gagal Turunkan Kemiskinan Ekstrim di Wilayah Pesisir (2)

PATRAINDONESIA.COM –
Tak habis pikir, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyalurkan pembiayaan dengan menggandeng perusahaan teknologi finansial. Metode ini, nelayan dan pembudidaya tidak mengerti dan nol informasi.

Kerjasama dengan startup (perusahaan teknologi finansial) menetapkan bunga pinjaman 4 persen per tahun. Padahal harapannya, memudahkan akses pinjaman untuk tingkatkan usaha dan peran terhadap perubahan jalan ekonomi dan kesejahteraan di sekitarnya.

Lebih tidak beres lagi, KKP melirik perusahaan dan/atau CV memberikan modal, seperti galangan besar yang fondasi modal usaha sudah capai hasil Rp1 Miliar pertahun dan sudah potong (upah) pegawai dan operasional.

Inilah, kedhoifan sistem dana MUKP dengan memberikan modal kepada usaha yang sudah tumbuh lebih baik. Padahal MUKP itu bersumber dari PNBP yang ditarik dari nelayan.

Cobalah ke depan merubah sistem pengelolaan yang berbasis pada komunitas nelayan murni. Bukan ada usaha – usaha tengkulak yang dibiayai.

Perlu perhatian bersama untuk meletakkan fondasi kuat dalam menumbuhkan distribusi hasil tangkapan nelayan dan pelaku budidaya.

Apabila masih menganut sistem manajemen sekarang, maka dipastikan dana tersebut masih sebatas penghamburan keuangan negara.

Porsentase pemberian modal usaha, hanya di Pulau Jawa hampir 90%. Di luar Pulau Jawa masih rendah, hanya sekitar 10 %. Faktor ini karena doktrin mayoritas nelayan ada di Jawa. Padahal tidak seperti itu.

Tentu Nelayan – nelayan luar pulau Jawa, membutuhkan dana segar tanpa agunan untuk membangun usaha – usahanya. Sehingga masa mendatang dapat bangkit, seiring kemiskinan ekstrem pesisir bisa diatasi. Terutama nelayan – nelayan yang berada di wilayah perbatasan antar negara yang harus diperhatikan sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial. Lagi pula, tumbuh bersama dan sukses bersama.

Wilayah perbatasan memiliki peluang besar, sekaligus tantangan dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas ekspor dan ekonomi masyarakat. Jika hal ini berjalan, maka berdampak positif pada kesejahteraan nelayan.

Spirit dana MUKP yang digulirkan harus berusaha melepaskan nelayan dari rentenir. Semangat ini, belum menjadi pemikiran bersama, masih sebatas begal membegal anggaran negara untuk kepentingan pribadi.

Bisa diukur dari hasil survei KKP sendiri terhadap kepuasan masyarakat dalam mengakses permodalan. Semuanya hasil tidak lebih dari 10%. Margin erornya sangat tinggi. Artinya penyaluran dana MUKP tidak maksimal dan belum berdampak baik terhadap perkembangan usaha – usaha masyarakat pesisir.

Hasil survei Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) tahun 2021 terhadap 186 responden yang merupakan pelaku usaha di sektor kelautan dan perikanan yang mengakses modal usaha melalui LPMUKP, capaian sebesar 85,42 % kepuasan dan 89,27% kepentingan.

Kemudian, tahun 2022 sekitar 378 sampel responden, capaian sebesar 3,39% puas dan 3,52% kepentingan.

Nilai tersebut dikategorikan BAIK oleh KKP. Padahal hitung hasil survei harus sebanding antara jumlah responden, pemakaian dana dan akses dana. Hasil survei mestinya 1000:1200 kepala keluarga nelayan untuk melihat secara objektif.

Kita bisa hitung sendiri dari hasil survei kepuasan di atas. Hasil survei tersebut, dianggap metode pencitraan dan marketing agar program tersebut berjalan terus. Walaupun sistemnya rusak.

KKP sudah mesti kembali pada konstitusi. Perlu keberpihakan pada keberlanjutan sektor perikanan tangkap, sekaligus keberpihakan kepada nelayan skala kecil. Untuk melakukan perlindungan ekosistem yang efektif, produksi atau pemanfaatan ekonomi kelautan secara berkelanjutan, dan penyejahteraan atau pendistribusian manfaat untuk rakyat secara merata. (*/Red/PI)

*) Rusdianto Samawa, Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI). .

Loading

Komentar

8 komentar

Komentar ditutup.