PATRAINDONESIA.COM,- Kemitraan dalam industri perusahaan penyedia jasa transportasi berbasis online dan perusahaan platform sejenis di Indonesia, bersifat semu.
Alih-alih menciptakan kebebasan dan kemerdekaan bagi para ojek online (ojol), hubungan kemitraan justru membuat para mitra atau pekerja gig (pekerja lepas atau sementara) mendapatkan hubungan kerja yang super-eksploitatif.
Kemitraan adalah hubungan yang setara dan adil antara dua atau lebih pihak untuk bekerja sama dalam hal tertentu atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan.
Saat ini para tukang ojek online diklasifikasikan sebagai “mitra” oleh perusahaan platform, namun mereka tidak memperoleh hak-hak sebagai mitra. Mereka disebut mitra akan tetapi bekerja dalam hubungan kerja buruh-pengusaha.
Status “mitra” justru dimanfaatkan oleh perusahaan untuk menghindari memberi pengojek online jaminan upah minimum, jaminan kesehatan, pesangon, upah lembur, hak libur, hingga jam kerja layak.
Penelitian kami di Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) – Universitas Gadjah Mada dengan judul :
Dibawah kendali aplikasi : Dampak Ekonomi Gig terhadap Kelayakan
Kemitraan palsu
Kami mewawancara secara mendalam 290 tukang ojek online (Ojek roda dua dan juga roda empat) di DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Bali pada Juni-Oktober 2020. Dari interview itu, ada empat hal yang menyebabkan hubungan kemitraan yang diterapkan oleh perusahaan seperti para aplikator itu palsu.
1. Semua keputusan penting dalam proses kerja menjadi kewenangan perusahaan platform.
Para ojol tidak memiliki hak bersuara dalam proses mengambil keputusan yang seharusnya mereka peroleh ketika statusnya adalah mitra.
Keputusan tentang penentuan tarif, sanksi, bonus, orderan, algoritme, dan mekanisme kerja dalam kemitraan diputuskan sepihak oleh perusahaan, tanpa ada ruang bersuara bagi para ojol.
2. Perusahaan mengontrol proses kerja dari ojol.
Konsep kemitraan dalam ekonomi gig selama ini diklaim oleh perusahaan aplikasi dapat mendorong model kerja yang memberi kebebasan hingga kemerdekaan pada mereka yang bermitra untuk menentukan waktu kerja dan menjadi tidak terikat.
Pada kenyataannya, perusahaan aplikasi mengendalikan para ojol sebagaimana kontrol yang sering kita temui di industri manufaktur dengan hubungan antara buruh dan pengusaha.
Fungsi kontrol ini digunakan untuk mendisiplinkan ojol, sehingga membuat mereka harus kerja lebih disiplin, lebih lama, dan lebih berat lagi. Kontrol kerja dari perusahaan kepada ojol dilakukan melalui tiga cara: sanksi, penilaian konsumen, dan bonus.
Perusahaan aplikasi memberikan sanksi ketika ojol dinilai oleh sistem perusahaan bekerja dengan malas atau tidak disiplin, sehingga akunnya dibuat sepi order atau dihukum tidak dapat membuka akun aplikasi beberapa saat—bahkan hingga dapat diputus mitra.
Misalnya ojol mendapatkan sanksi sepi order ketika performa mereka dinilai kurang, baik karena jarang atau tidak teratur mengaktifkan akun, sering menolak pesanan, hingga karena adanya penilaian jelek dari konsumen.
Perusahaan aplikasi membuat penilaian konsumen dalam ekonomi gig ini sebagai acuan untuk menertibkan ojol.
Dengan penilaian konsumen, maka perusahaan platform menerapkan standar kualitas layanan. Ketika para ojol mendapatkan rating 1 karena dianggap salah mengirimkan barang atau berkendara tidak aman atau dianggap tidak ramah, maka para ojol akan mendapatkan sanksi.
Persoalan muncul ketika penilaian konsumen ditempatkan sebagai sesuatu yang fundamental, walau tanpa ada bukti yang bisa dipertanggungjawabkan, dan tanpa mendengar klarifikasi dari pihak ojol.
Melalui kontrol terhadap proses kerja yang dilakukan sepihak oleh perusahaan ini, maka janji pekerjaan yang layak dan fleksibel tidak diperoleh oleh para ojol.
3. Perusahaan memonopoli akses informasi dan data.
Data yang terkumpul di perusahaan platform, merupakan hasil akumulasi informasi dari kerja Ojol.
Status sebagai mitra tidak lantas membuat para Ojol dapat mengakses informasi dan data di perusahaan platform. Akses informasi sengaja ditutup oleh perusahaan platform, bahkan bagi peneliti dan pemerintah.
Ketiadaan akses dan kendali atas data yang kemudian diatur oleh sistem algoritma, menjauhkan Ojol dari informasi tentang bagaimana tata kelola yang seharusnya dilakukan untuk saling menguntungkan dalam hubungan kemitraan.
4. Hubungan kemitraan yang dijalankan bertentangan dengan aturan hukum di Indonesia.
Tiga praktik hubungan kerja antara perusahaan platform dan ojol di atas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2013 tentang pelaksanaan UU tersebut yang mengatur tentang kemitraan.
Dalam penelitian ini, kami mendapat informasi bahwa praktik kemitraan yang berjalan tidak menerapkan prinsip-prinsip kemitraan yaitu saling memerlukan, saling mempercayai, saling memperkuat, dan saling menguntungkan, seperti aturan dalam Pasal 1 Ayat 13 UU 20 Tahun 2008.
Itu terjadi karena adanya hubungan yang tidak setara dan memunculkan dominasi perusahaan platform atas mitra mereka, yaitu ojol.
Kedudukan para pihak dalam perjanjian berlangsung tidak setara dan terlihat dari isi perjanjian berupa hak dan kewajiban yang tidak seimbang.
Kekuasaan dalam pembuatan keputusan berada pada satu pihak, misalnya dalam pembuatan isi perjanjian kemitraan hingga pengambilan keputusan dalam hubungan kerja yang disepakati.
Dampak dari keputusan sepihak tersebut membuat 84,83% responden ojol dalam penelitian kami menilai perubahan kebijakan tentang tarif, bonus, potongan, hingga sanksi cenderung merugikan pihak ojol dan menguntungkan pihak perusahaan platform.
Hanya 8,97% yang menyebut perubahan kebijakan itu menguntungkan dan 6,20% tidak mau menjawab.
Perlu kemauan, komitmen, dan perjuangan politik
Untuk memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi pihak yang dalam posisi lemah, pihak ojol tidak mungkin bergantung kepada kehendak baik perusahaan aplikasi.
Sementara itu, pemerintah yang seharusnya melindungi pihak yang lemah dan menegakkan hubungan kemitraan yang sejati, pada kenyataannya justru membanggakan model ekonomi gig ini sebagai industri masa depan.
Menyerahkannya melalui perjuangan di pengadilan seperti di Inggris yang berhasil mengubah mitra perusahaan platform menjadi karyawan perusahaan juga sulit. Sebab Inggris menerapkan sistem hukum Anglo Saxon (common law system) yang menetapkan keputusan pengadilan adalah hukum dan hakim adalah pencipta hukum.
Di Indonesia, yang menerapkan civil law system, keputusan hakim tidak mengikat hakim yang lain. Sehingga jika ada konflik antara UU dan putusan hakim, yang dimenangkan adalah UU.
Dengan demikian, untuk memperbaiki kesejahteraan bagi pekerja gig seperti tukang ojek online dapat dilakukan pemerintah dengan mengaturnya dalam undang-undang yang spesifik.
UU No. 20 Tahun 2008 tidak secara spesifik mengatur hubungan kemitraan dalam ekonomi gig, sementara Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 12 Tahun 2019 terbatas pada ojol roda 2. Peraturan ini tidak memasukkan permasalahan penting terkait kesalahan-pengklasifikasian atau penghindaran penerapan kemitraan sejati yang dilakukan oleh perusahaan platform.
Karena undang-undang merupakan produk politik, maka seluruh pemangku kepentingan perlu memperkuat kemauan, komitmen, dan perjuangan politiknya. Sehingga sudah saatnya publik secara bersama mendorong terciptanya aturan hukum untuk memberi perlindungan berupa kerja layak dan adil bagi pekerja gig.
Hak cipta © 2010–2021The Conversation