PATRAINDONESIA.COM (Jakarta) – Belakangan ini mencuat kabar tentang adanya hambatan bagi sebagian jurnalis untuk melakukan peliputan di lingkungan Pemkab Barito Selatan. Selain heran, mereka juga gelisah. Heran, karena di era seperti ini masih ada perlakuan diskriminatif untuk jurnalis.
Gelisah, karena di era Bupati Eddy Raya, dituntut kompetensi bagi seluruh komponen masyarakat. Dan kita tahu, media memiliki peran yang sangat penting.
Kegelisahan wartawan di Kabupaten Barito Selatan yang terjadi selama ini menarik perhatian Ketua Indonesian Editors Club YS Widada.
Kegelisahan sebagai akibat disumbatnya akses informasi itu memang sangat beralasan. Pemerintah Daerah, selama ini hanya mengundang wartawan yang berasal dari satu organisasi saja. Sementara di daerah itu ada 4 – 5 organisasi wartawan yang aktif, yang di dalamnya terdapat puluhan jurnalis yang berasal dari puluhan media.
“Tidak diundangnya 4 hingga 5 organisasi wartawan dalam setiap kegiatan ini bisa dibaca dari beberapa segi. Segi pertama, barangkali ada unsur ketidaktahuan stake holder pengendali/pengelola informasi publik di Pemerintah Kabupaten tersebut.
Kedua, bisa jadi karena memang stake holder tersebut sengaja memberlakukan strategi ‘belah bambu’. Yaitu satu dipegang dan diangkat, sedangkan yang lain ditekan/diinjak. Sehingga sebagian jurnalis itu merasa diabaikan,” kata Widada kepada patraindonesia.com.
Dan celakanya, lanjut Widada, kedua pilihan ini sama-sama kontra produktif bagi Barsel. Keduanya sangat merugikan, baik pihak Pemerintah Daerah maupun masyarakat/publik. Mengapa? Karena kedua strategi itu justru menutup atau menyekat informasi publik. Apalagi jika informasi itu terkait dengan program-program pembangunan atau kebijakan publik lainnya.
Eksesnya di lapangan, bisa jadi timbulnya kecemburuan di lingkungan jurnalis. Tetapi yang lebih substansial dari “kebijakan” tidak mengundang media ini bisa dipandang sebagai pelanggaran Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Pasal 18 menyatakan, barang siapa menghalangi atau menghambat kegiatan jurnalistik bisa dipidana 2 tahun atau denda Rp500 juta.
Yang menjadi pertanyaan Widada, mengapa hal seperti ini bisa tumbuh di lingkungan Pemkab Barsel? Ia khawatir, hal ini jika tidak diatasi segera bakal menjadi batu sandungan bagi Bupati Eddy Raya yang baru saja menyatakan bangkit dan siap berlari. “Dan untuk berlari membangun Barsel Eddy Raya butuh pimpinan OPD yang memiliki kompetensi tinggi. Nah, sudah barang tentu, tak seorangpun diantara para stake holder yang berniat menghambat langkah Bupati.”
Sudah tentu termasuk diantaranya adalah para jurnalis. “Karena itu, libatkan media secara maksimal. Agar seluruh komponen masyarakat bisa mendukung dan bersama Bupati berlari membangun Barsel. Karena dalam membangun Barsel, butuh partisipasi publik dalam pengertian seluas-luasnya,” tegas Widada. (Amar Iswani/Red/PI).
Komentar